Minggu, 28 Juni 2009

MISTERI DI TENGAH PULAU JAWA

MISTERI DI TENGAH PULAU JAWA
Oleh WAHYU KUNCORO Fotografer WAHYU KUNCORO




Saya tidak percaya jika hari telah pagi, jika saja saya tidak melirik jam tangan yang ternyata telah menunjukkan pukul enam pagi. Rasanya dingin yang menyelimuti telah mengaburkan orientasi waktu saya. Saya rupanya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan Gunung Merapi dengan segala keistimewaannya. Gunung yang terletak diempat daerah administrasi –Sleman, Klaten, Boyolali, dan Magelang– ini memang istimewa dan dikenal menyimpan sejuta misteri.


Para pedagang makanan dan minuman di sekitar kaliadem masih banyang yang belum menggelar dagangannya. Hanya terlihat satu-dua pedagang yang telah membuka lapaknya sedari padi sambil membersihkan area sekitar warung mereka. Belum ada pembeli yang menyambangi warung mereka, meskipun telah ada beberapa motor dan mobil pribadi yang parkir di sana, termasuk kami. “Hari masih terlalu pagi untuk mencicipi makanan” pikir kami. Sehingga, yang kami lakukan adalah berjalan naik menuju keatas untuk menyaksikan gunung teraktif didunia, Merapi.

Ketika kami berjalan naik, beberapa meter kami temukan bungker yang tidak lagi dapat digunakan. Pun demikian, kami jadi teringat cerita tentang bungker ini, yakni pada letusannya yang terakhir Mei 2006 yang lalu. Saat itu, letusan tiba-tiba terjadi, meski hal tersebut telah diprediksi sebelumnya. Dan, di sana ada dua orang yang mencoba menyelamatkan diri ke dalam bungker. Setelah wedus gembel menyapu daerah Kaliadem dan mengubur bungker dengan material lahar dingin, evakuasi dilakukan oleh tim SAR. Sayangnya, tim kesulitan masuk ke dalam bungker akibat tertutup material sedalam tiga meter. Selain itu, pasir dan batu muntahan lahar masih sangat panas. Alhasih, setelah berhasil memasuki bungker, ditemukan dua korban dalam kondisi mengenaskan di dalam bak air cadangan.

Lalu, perjalanan kami lanjutkan menuju pos pandang Kaliadem. Jaraknya hanya sekitar seratus meter dari tempat parkir kami. Kami beruntung, takberapa lama, matahari yang mengintip dari balik awan membuat uap air naik dan pemandangan kearah Gunung Merapi sangat cantik. Perlahan-lahan matahari menyapu puncak kawah yang menghasilkan warna-warna mengagumkan dari kawah Merapi. Beberapa kali mengambil gambar, kami memutuskan turun dan menyeberang kali lahar. Yakni sungai besat tanpa air yang menjadi aliran lahar dingin ketika terjadi erupsi.

Wisatawan sebenarnya tidak diizinkan untuk melintasi batas yang telah diberi tanda, namun kami nekad melanggar batas wisatawak karena kekaguman dan rasa penasaran kami untuk melihat dari dekat puncak kawah Merapi. Sepanjang penyeberangan kami, terdapat banyak material batu, baik besar maupun kecil yang unik dan berwarna warni, ada yang kelabu, kunimg, juga ada yang berwarna merah. Hal ini menambah kekaguman kami pada Sang Merapi, gunung yang menyimpan banyak misteri ini.



Sesampai di seberang, kami berjumpa dengan beberapa penduduk lokal yang tengah berjalan menuju ke kawasan hutan. Tanpa terkecuali, baik wanita maupun laki-laki, telah sejak pagi menuju kawasan hutan. Mereka adalah para pencari kayu dan rerumputan. Saya sejujurnya kagum dengan semangat kerja penduduk lokal di sini. Laki-lakinya berangkat pagi, dan akan kempali pada sore hari, dan wanitanya akan berjalan bolak-balik mengangkut beban diatas punggung mereka. Tidak hanya seikat besar rerumputan, terkadang juga beberapa batang kayu basah yang dipotong-potong sepanjang sekitar satu meter.

Saya bilang pada rekan pejalan saya, Eva, yang tentu adalah seorang wanita, “jika kamu adalah penduduk lokal, apakah kamu akan melakukan hal yang sama atau memilih pergi ke kota mengadu nasib?”. Dan dia hanya tersenyum, dilanjutkan pertanyaan yang membuat saya terdiam dan berpikir. “apakah penduduk lokal akan lebih baik jika mereka tercerabut dari akarnya sebagai masyarakat gunung yang menjaga dan mengahargai gunung yang menghidupi mereka?”

Material yang menumpuk di sana tidak saja menunjukkan keganasan wedus gembel dan erupsi lahar dingin dari Merapi, tetapi juga memperlihatkan kepada kami betapa pasir berbatu itu telah menghidupkan hutan-hutan disekitar puncak kawah dan menjadi tumpuan hidup masyarakat sekitar. Akankah kami merusaknya hanya untuk kesenangan kami belaka? Agaknya kami membuang jauh-jauh pikiran semacam itu.



Saya tidak terlalu lama berada di lintasan material kawah. Saya khawatir akan merusak struktur tanah dan mengganggu pertumbuhan tanaman yang mulai tumbuh bersemi pasca-erupsi 15 Mei 2006. Kami hanya mengambil beberapa gambar dan tidak meninggalkan apapun di sana kecuali jejak.

Kembali ke pos pandang, kami beristirahat sejenak pada pendopo yang tidak terawat. Setelah melepas lelah, kami turun ke tempat kami memarkir kendaraan dan bergegas turun. Ada agenda lain yang akan kami lakukan, kami akan mengunjungi Kalikuning. (Bersambung: Kalikuning)



Logistik:
Terletak 30 km di sebelah utara Kota Yogyakarta, dapat ditempuh dalam satu jam menggunakan kendaraan bermotor. Sayangnya, belum ada angkutan umum yang melayani trayek tersebut. Kekurangan lain, fasilitas kebersihan seperti tempat sampah dan toilet masih jauh dari memadai. Tiket masuk Rp 2.000,00 perorang dan Parkir Rp 1.000,00 untuk motor Rp 2.000,00 untuk mobil.*

*Kami menggunakan fasilitas bebas biaya dan tidak tahu harga riil di lapangan. Mohon informasi yang lebih detail.

Jumat, 12 Juni 2009

Selamat datang di Blog Nusantara Magazine

Selamat datang di Blog Nusantara Magazine, blog yang menyajikan informasi penting dan aktual wisata di Indonesia. Anda juga dapat membuat liputan atau artikel tentang perjalanan wisata dan mengirimkannya pada kami. Kami akan sangat berterima kasih dan ada kenang-kenangan kecil dari kami. Semoga informasi yang tersaji di sini membantu anda semua menjadi pejalan yang berawasan. Pejalan yang berwawasan, be Smart Travelers.